Senin, 08 Desember 2014

Konsep Kebutuhan dalam Islam



KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Islam
Dosen Pengampu : Drs. Hj. Anita Rahmawaty, M. Ag.

 












Disusun Oleh :

Ita Noviana                            (212154)
Liadatun Mas’ulah               (212155)
Zainal Abidin                         (212156)
Fida Ginanjar Yulianto        (212157)

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH /EI C
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Konsumsi merupakan kegiatan ekonomi yang penting. Produksi-konsumsi-distribusi merupakan tiga mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi dan kegiatan distribusi muncul karena ada gap antara konsumsi dan produksi. Dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang bersifat individualis sehingga seringkali mengakibatkan keseimbangan dan keharmonisan social. Selanjutnya, bagaimana dengan perilaku konsumsi yang islami?

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yag dimaksud dengan kebutuhan?
2.      Apa perbedaan antara maslahah dan utility?
3.      Bagaimana pengalokasian sumber daya untuk memenuhi kebutuhan?
4.      Bagaimana konsep pemilihan dalam konsumsi?






BAB I
PEMBAHASAN

A.    Kebutuhan
Secara konvensional kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Orang membutuhkan sesuatu karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada yang kurang dalam dirinya. Kebutuhan sendiri kebutuhan timbul karena adanya kelangkaan akan barang dan jasa.[1]
Namun hal tersebut dibantah oleh Al-Ghozali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda jauh. Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal.
Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku.
Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang:
1.      Dharuriyat (Primer)
Merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok, yakni : agama, jiwa, akal, keturunan dan harga.
Pengabaian terhadap kelima unsur tersebut akan menimbulkan kerusakan di dunia dan akhirat. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak.[2]
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.[3]
2.      Hajiyyat (Sekunder)
Maksudnya untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[4]
3.      Tahsiniyyat (Tersier)
Maksudnya adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.[5]
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutushan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas, termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang mengikuti gaya hidup yang khas pula. Karenanya, Islam mengharamkan tiap Muslim untuk memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras.[6]
B.     Mashlahah dan Utility
1.      Maslahah
Perilaku konsumen dalam islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Konsep maslahah ini diderivasikan dari konsep maqashid syari’ah yang berujung pada masalih al-‘ibad (kemaslahatan hamba/manusia)[7].
Menurut Imam Shatibi  istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama.
a)      Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).  Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: Agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsur-unsur keberkahan.
b)      Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama[8].
2.      Utility
Secara bahasa, utility berarti berguna (usefulness), membantu (helpness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.[9]
3.      Perbedaan Maslahah dan Utility
a)      Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
b)      Utility atau kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompoki masyarakat.
c)      Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
d)     Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial.
e)      Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi monvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya. [10]

f)       Dalam konteks perilaku monsumen, utility diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa, sedangkan maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.
C.    Pengalokasian Sumber Daya Untuk Memenuhi Kebutuhan
Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahtraan meskipun manusia memaknai kesejahtraan dengan persepektif yang berbeda. Sebagian besar paham ekonomi memaknai kesejahtraan material duniawi.  Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia.[11]
Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumberdaya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumberdaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia . keterbatasan manusia , serta munculnya konflik anara tujuan duniawi dan ukrawi menyebabkan terjadinya kelangkaan relative.[12]
Keterbatasan manusia menyebabkan banyak hal terasa langka (scare). Kelangkaan mencakupi kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka jika jumlah (kuantitas) yang tersedia sesuai dengan kebutuhan  berkualitas baik, tersedia dimana saja (di setiap tempat) dan kapan saja (waktu) dibutuhkan.
Teori ekonomi mikro berusaha untuk menjelaskan apakah masalah kelangkaan dan alokasi sumber daya yang telah ditentukan yang efisien. Ekonomi efisiensi melibatkan efisiensi dalam konsumsi, efisiensi dalam produksi dan distribusi dan atas segala efisiensi ekonomi. 
Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia, yaitu diantaranya, sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia.[13]
Imam Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “Janganlah kesejahteraan salah seorang di antara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain.
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah alokasi tersebut adil. Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “tidak menzalami dan tidak dizalami.” Bisa jadi “sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras.
Untuk itu Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan secara efisien. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar kekayaan terdistribusi secara baik dalam masyarakat, misalnya melalui Perpajakan, Subsidi, Pengentasan kemiskinan, Transfer pnghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin, Bantuan pendidikan,Bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Ekonom Islam mazhab mainstream menggunakan definisi efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur: penggunaan kombinasi input  yang memaksimasi laba, atau; penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Dari penjelasan mengenai teori alokasi diatas dapat di analisis bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.[14]
D.    Konsep Pemilihan Dalam Konsumsi
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya satu jenis benda ekonomi merupakan substitusi sempurna bagi benda ekonomi lainnya sepanjang memberikan utulitas yang sama. Akibatnya, anggaran akan dialokasikan untuk mengkonsumsi benda-benda apa saja sepanjang utilitasnya maksimum. Hal ini disebabkan karena tidak ada benda lain yang lebih berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat kepuasan yang diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga dibandingkan yang memberikan utilitas lebih rendah.
Ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.[15]
Adapun prefernsi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan manusia memiliki pola sebagai berikut.
1.      Mengutamakan akhirat dari pada dunia.
Pada tataran paling dasar, seorang konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengkonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi belaka (wordly consumption), dan benda yang bersifat ibadah (ibadah consumption). Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan subtitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih memiliki nilai lebih tinggi daripada konsumsi untuk duniawi dikarenakan orientasinya adalah mencapai falah sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi falah yang dicapai. Demikian sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, maka semakin rendah falah yang dicapainya.
2.      Konsisten dalam prioritas pemenuhan kebutuhan.
Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dalam pemenuhannya. Asy-syatibi membagi prioritas kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yakni maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, dan maslahah tahsiniyyah.
3.      Memperhatikan etika dan norma.
Syari’ah islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa etika ini antara lain keadilan, kebersihan, kesederhanaan, halalan tayyiban, dan keseimbangan.[16]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang
Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
Teori alokasi dapat di analisis bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.
Ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.




DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. Jakarta: Grafindo Persada.
Nurcahyaningtyas. 2009. Ekonomi Untuk Kelas X SMA. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
P3EI. 2011. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 
Rahmawaty, Anita. 2011. Ekonomi Mikro Islam, Kudus: Nora Media Enterprise.
Setianingrum. Islamic Economics Managemen Accounting. Maslahah Utility. Perilaku Konsumen Dalam Ekonomi Islam dan Konvensional. http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70988-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Maslahah%20VS%20Utility,%20Perilaku%20Konsumen%20Dalam%20Ekonomi%20Islam%20dan%20Konvensional.html. diakses pada 15 November 2014.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh II. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Tinky, Imeh. Makalah Kebutuhan Vs Keinginan. http://imehtinky. blogspot. com/2013/07/ makalah- kebutuhan-vs- keinginan.html. diakses 12 November 2014.






[1] Nurcahyaningtyas. Ekonomi Untuk Kelas X SMA. (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009). hal. 3.
[2] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. (Jakarta: Grafindo Persada, 2004). hal. 318.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008). hal. 213.
[4] Adiwarman A. Karim. Op, Cit. hal. 319-320.
[5] Ibid, hal. 322-323.
[6] Imeh Tinky. Makalah Kebutuhan Vs Keinginan. http://imehtinky. blogspot.com/2013/07/ makalah-kebutuhan-vs-keinginan.html. diakses 12 November 2014.
[7] Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011). hal. 65-66.
[8] Setianingrum. Islamic Economics Managemen Accounting. Maslahah Utility. Perilaku Konsumen Dalam Ekonomi Islam dan Konvensional. http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70988-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Maslahah%20VS%20Utility,%20Perilaku%20Konsumen%20Dalam%20Ekonomi%20Islam%20dan%20Konvensional.html. diakses pada 15 November 2014.
[9] Anita Rahmawaty. Op.Cit. hal. 69.
[10] Ibid, hal. 70-71.
[11] P3EI. Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).  hal. 42-43.
[12] Ibid, hal. 43.
[13] Nurcahyaningtyas. Op, Cit. hal. 15-21.
[15] Anita Rahmawaty. Op,Cit. hal. 76.
[16] Ibid, hal. 77-78.