KONSEP
KEBUTUHAN DALAM ISLAM
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Islam
Dosen Pengampu : Drs.
Hj. Anita Rahmawaty, M. Ag.
Disusun
Oleh :
Ita Noviana (212154)
Liadatun Mas’ulah (212155)
Zainal Abidin (212156)
Fida Ginanjar Yulianto (212157)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH /EI C
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebutuhan atau keinginan
merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan
hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan
dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Konsumsi merupakan kegiatan ekonomi yang penting.
Produksi-konsumsi-distribusi merupakan tiga mata rantai yang terkait satu
dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena yang mengkonsumsi, kegiatan
konsumsi ada karena ada yang memproduksi dan kegiatan distribusi muncul karena
ada gap antara konsumsi dan produksi. Dalam ekonomi konvensional, perilaku
konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme.
Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang bersifat
individualis sehingga seringkali mengakibatkan keseimbangan dan keharmonisan
social. Selanjutnya, bagaimana dengan perilaku konsumsi yang islami?
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yag dimaksud dengan kebutuhan?
2.
Apa perbedaan antara maslahah dan utility?
3.
Bagaimana pengalokasian sumber daya untuk memenuhi kebutuhan?
4.
Bagaimana konsep pemilihan dalam konsumsi?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Kebutuhan
Secara konvensional kebutuhan atau keinginan merupakan segala
sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya.
Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri
manusia yang ingin dipuaskan.
Orang membutuhkan sesuatu karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada
yang kurang dalam dirinya. Kebutuhan sendiri kebutuhan timbul karena adanya
kelangkaan akan barang dan jasa.[1]
Namun hal tersebut dibantah oleh Al-Ghozali, beliau berpendapat
bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda jauh. Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan adalah
keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya sebagai hamba
Allah dengan beribadah secara maksimal.
Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi
kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib
juga, sebagaimana kaidah yang berlaku.
Menurut Islam, yaitu
senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat),
dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang:
1.
Dharuriyat (Primer)
Merupakan kemestian dan landasan dalam
menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup
pemeliharaan lima unsur pokok, yakni : agama, jiwa, akal, keturunan dan harga.
Pengabaian terhadap kelima unsur tersebut
akan menimbulkan kerusakan di dunia dan akhirat. Pemeliharaan terhadap agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara
eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan
melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak.[2]
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan
tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu
suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum
syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib”
(menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya,
larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum
yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan
dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam
kitab-kitab fiqh.[3]
2.
Hajiyyat (Sekunder)
Maksudnya untuk memudahkan kehidupan,
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap
lima unsur pokok kehidupan manusia. Apabila kebutuhan tersebut tidak
terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami
kesulitan. Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap yang
mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. Atau lebih spesifiknya
lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[4]
3.
Tahsiniyyat (Tersier)
Maksudnya adalah agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok
kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan
penghias kehidupan manusia.[5]
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi
Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua
kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara
menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutushan
sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu
yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style)
tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif
sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang
tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara
menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya
untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar
kemampuannya.
Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara
pribadi serta memberikan kesempatan kepada tiap orang
tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama,
Islam telah membatasi perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan
ketentuan yang khas, termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai
interaksi yang mengikuti gaya hidup yang khas pula. Karenanya, Islam
mengharamkan tiap Muslim untuk memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras.[6]
B. Mashlahah dan Utility
1.
Maslahah
Perilaku konsumen dalam islam menekankan
pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang
memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi
islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya
dalam konsumsi.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah
banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang
terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung
pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Konsep maslahah ini diderivasikan
dari konsep maqashid syari’ah yang berujung pada masalih al-‘ibad
(kemaslahatan hamba/manusia)[7].
Menurut Imam Shatibi istilah maslahah
maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi
ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling
utama.
a)
Maslahah adalah
sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan
dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).
Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: Agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs),
properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din),
intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl).
Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan
unsur-unsur keberkahan.
b)
Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah
tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah
salah satu kewajiban dalam beragama[8].
2.
Utility
Secara bahasa, utility berarti
berguna (usefulness), membantu (helpness), atau menguntungkan (advantage).
Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang
dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini
bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi
suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai
kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan
utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan
oleh utilitas.[9]
3.
Perbedaan Maslahah dan Utility
a)
Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need),
sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
b)
Utility atau
kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh
individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompoki
masyarakat.
c)
Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada
pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu
benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara
utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat
berbeda antara individu satu dengan lainnya.
d) Maslahah individu relatif
konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering
berseberangan dengan utilitas sosial.
e)
Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi
(konsumen, produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat
baik konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan.
Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi monvensional, konsumen mengukurnya
dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi
produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya. [10]
f)
Dalam konteks perilaku monsumen, utility diartikan sebagai konsep
kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa, sedangkan maslahah
diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan
dan prioritas.
C. Pengalokasian Sumber Daya
Untuk Memenuhi Kebutuhan
Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai
kesejahtraan meskipun manusia memaknai kesejahtraan dengan persepektif yang
berbeda. Sebagian besar paham ekonomi memaknai kesejahtraan material duniawi.
Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah, yaitu
kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah
menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya yang memadai untuk
mencukupi kebutuhan manusia.[11]
Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah,
yaitu kesenjangan antara sumberdaya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah
menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumberdaya yang memadai untuk
mencukupi kebutuhan manusia . keterbatasan manusia , serta munculnya konflik
anara tujuan duniawi dan ukrawi menyebabkan terjadinya kelangkaan relative.[12]
Keterbatasan manusia menyebabkan banyak hal terasa langka (scare).
Kelangkaan mencakupi kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan
langka jika jumlah (kuantitas) yang tersedia sesuai dengan kebutuhan
berkualitas baik, tersedia dimana saja (di setiap tempat) dan kapan saja
(waktu) dibutuhkan.
Teori ekonomi mikro berusaha untuk menjelaskan apakah masalah
kelangkaan dan alokasi sumber daya yang telah ditentukan yang efisien. Ekonomi
efisiensi melibatkan efisiensi dalam konsumsi, efisiensi dalam produksi dan
distribusi dan atas segala efisiensi ekonomi.
Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya
harus memberi manfaat bagi manusia, yaitu diantaranya, sumber daya alam, sumber
daya modal, sumber daya manusia.[13]
Imam Ali r.a
diriwayatkan pernah mengatakan “Janganlah kesejahteraan salah seorang di antara
kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.”
Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation
of goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien bila tidak seorang
pun dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain.
Efisiensi alokasi hanya
menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka
alokasi yang efisien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah
alokasi tersebut adil. Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “tidak menzalami
dan tidak dizalami.” Bisa jadi “sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan
Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras.
Untuk itu Pemerintah
harus membuat kebijakan-kebijakan agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan
secara efisien. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar kekayaan
terdistribusi secara baik dalam masyarakat, misalnya melalui Perpajakan,
Subsidi, Pengentasan kemiskinan, Transfer pnghasilan dari daerah kaya ke daerah
miskin, Bantuan pendidikan,Bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Ekonom Islam mazhab
mainstream menggunakan definisi efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi
neoklasik, di mana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi.
Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan
anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan
konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur:
penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau; penggunaan input
yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Dari penjelasan mengenai teori alokasi diatas dapat di analisis
bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber
daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat
terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka,
pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.[14]
D. Konsep Pemilihan Dalam Konsumsi
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya satu jenis benda ekonomi
merupakan substitusi sempurna bagi benda ekonomi lainnya sepanjang memberikan
utulitas yang sama. Akibatnya, anggaran akan dialokasikan untuk mengkonsumsi
benda-benda apa saja sepanjang utilitasnya maksimum. Hal ini disebabkan karena
tidak ada benda lain yang lebih berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang
membedakan adalah tingkat kepuasan yang diperoleh akibat mengkonsumsi benda
tersebut. Karenanya, benda yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi
lebih berharga dibandingkan yang memberikan utilitas lebih rendah.
Ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan
benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda
ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan
diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat
prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.[15]
Adapun prefernsi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan manusia memiliki
pola sebagai berikut.
1.
Mengutamakan akhirat dari pada dunia.
Pada tataran paling dasar, seorang
konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengkonsumsi benda ekonomi
yang bersifat duniawi belaka (wordly consumption), dan benda yang
bersifat ibadah (ibadah consumption). Konsumsi untuk ibadah bernilai
lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan
merupakan subtitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih memiliki nilai lebih
tinggi daripada konsumsi untuk duniawi dikarenakan orientasinya adalah mencapai
falah sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh
karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi untuk masa
depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin
besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi falah yang dicapai. Demikian
sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, maka semakin rendah falah yang
dicapainya.
2.
Konsisten dalam prioritas pemenuhan kebutuhan.
Kebutuhan manusia dalam konsumsi
memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat
prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat
kemanfaatan dalam pemenuhannya. Asy-syatibi membagi prioritas kemaslahatan
tersebut pada tiga tingkatan, yakni maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah,
dan maslahah tahsiniyyah.
3.
Memperhatikan etika dan norma.
Syari’ah islam memiliki seperangkat
etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Beberapa etika ini antara lain keadilan, kebersihan, kesederhanaan, halalan
tayyiban, dan keseimbangan.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan
manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya
perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah
manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material,
fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian
kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh
seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang
Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need),
sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
Teori alokasi dapat di analisis bahwa pandangan ekonomi islam
telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber daya dengan adanya campur
tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik.
Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi
manfaat bagi manusia.
Ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan
benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda
ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan
diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat
prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Adiwarman. 2004. Sejarah
Pemikiran Ekonomi edisi kedua. Jakarta: Grafindo Persada.
Hastuti, Titi Tri. Teori
Alokasi IASLM. http://strititi.wordpress.com/2013/04/28/titi-tri-hastuti-1110084000005-teori-alokasi-iaslm-berawal-dari/. diakses. 13 November 2014.
Nurcahyaningtyas.
2009. Ekonomi Untuk Kelas X SMA. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional.
P3EI.
2011. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahmawaty, Anita. 2011. Ekonomi
Mikro Islam, Kudus: Nora Media Enterprise.
Setianingrum.
Islamic Economics Managemen Accounting. Maslahah Utility. Perilaku Konsumen
Dalam Ekonomi Islam dan Konvensional. http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70988-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Maslahah%20VS%20Utility,%20Perilaku%20Konsumen%20Dalam%20Ekonomi%20Islam%20dan%20Konvensional.html. diakses pada 15 November 2014.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh
II. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Tinky, Imeh. Makalah
Kebutuhan Vs Keinginan. http://imehtinky. blogspot. com/2013/07/ makalah-
kebutuhan-vs- keinginan.html. diakses 12 November 2014.
[1]
Nurcahyaningtyas. Ekonomi Untuk Kelas X SMA. (Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional, 2009). hal. 3.
[2]
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. (Jakarta:
Grafindo Persada, 2004). hal. 318.
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008).
hal. 213.
[4]
Adiwarman A. Karim. Op, Cit. hal. 319-320.
[5] Ibid,
hal. 322-323.
[6] Imeh
Tinky. Makalah Kebutuhan Vs Keinginan. http://imehtinky. blogspot.com/2013/07/
makalah-kebutuhan-vs-keinginan.html. diakses 12 November
2014.
[7] Anita
Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011).
hal. 65-66.
[8]
Setianingrum. Islamic Economics Managemen Accounting. Maslahah Utility.
Perilaku Konsumen Dalam Ekonomi Islam dan Konvensional. http://any-setianingrum-pasca12.web.unair.ac.id/artikel_detail-70988-Islamic%20Economics%20Management%20%20Accounting-Maslahah%20VS%20Utility,%20Perilaku%20Konsumen%20Dalam%20Ekonomi%20Islam%20dan%20Konvensional.html.
diakses pada 15 November 2014.
[9] Anita
Rahmawaty. Op.Cit. hal. 69.
[10] Ibid,
hal. 70-71.
[11] P3EI. Ekonomi
Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
hal. 42-43.
[12] Ibid,
hal. 43.
[13]
Nurcahyaningtyas. Op, Cit. hal. 15-21.
[14] Titi Tri
Hastuti. Teori Alokasi IASLM. http://strititi.wordpress.com/2013/04/28/titi-tri-hastuti-1110084000005-teori-alokasi-iaslm-berawal-dari/.
diakses. 13 November 2014.
[15] Anita
Rahmawaty. Op,Cit. hal. 76.
[16] Ibid,
hal. 77-78.